"On the eighth day God created coffee"
Kopi memiliki cerita tersendiri dalam hidup setiap orang, aku pun demikian memiliki cerita tersendiri tentang secangkir minuman yang sering menemani ku menghabiskan malam pertempuran dengan tugas-tugas kuliahku. Sebagai seorang penikmat kopi, aku belum memiliki jam terbang yang cukup tinggi layaknya kawan-kawan kos ku.
Di antara semua jenis kopi, kopi luwak merupakan legenda tersendiri dalam dunia perkopian. Mengalami proses fermentasi dalam tubuh luwak, membuat kopi ini memiliki rasa yang khas dan berbeda. Namanya yang sudah melegenda di dunia perkopian membuat semua penikmat kopi menganggap kopi luwak ini adalah tahap paling paripurna dalam menikmati kopi.
Aku pun demikian, tak sabar rasanya ketika tahu bahwa tahap paripurnaku akan segera tiba. Suatu hari seorang kawan menawariku secangkir kopi luwak buatannya. Aroma kopi yang menusuk hidung membuat pikiranku sejenak melayang membayangkan cita rasa yang nanti akan ku kecap, 'amboi nian' pikirku.
Seteguk demi seteguk kopi legendaris itu melwati kerongkonganku, ku kecap dengan rasa penasaran dan penuh harap, tetapi entah kenapa sedikit rasa kecewa merasuki pikiranku. "Tak senikmat cerita orang-orang," otakku berteriak dalam diam. Aku terus mencecap sambil berusaha menceran semua rasa yang hinggap di lidahku.
Kawan-kawanku mulai melihat ekspresi kecewaku, "Gimana rasanya, dat?" mereka bertanya. Sambil nyengir dan sedikit tertawa aku menjawab, "ga tau nih mas, lidahku belum layak merasakan cita rasa semahal ini nampaknya, kok gak kerasa ya bedanya?"
Gelak tawa membahana di ruang communal kos ku. "Wah amatir lo dat, barang sebagus ini kok ga kerasa nikmatnya" celoteh kawanku. "Yah tak apalah" otakku berkilah, mungkin masih terlalu cepat 10 tahun perjalanan per-kopi-an ku untuk mencapai paripurna.
salam, :)
Aku pun demikian, tak sabar rasanya ketika tahu bahwa tahap paripurnaku akan segera tiba. Suatu hari seorang kawan menawariku secangkir kopi luwak buatannya. Aroma kopi yang menusuk hidung membuat pikiranku sejenak melayang membayangkan cita rasa yang nanti akan ku kecap, 'amboi nian' pikirku.
Seteguk demi seteguk kopi legendaris itu melwati kerongkonganku, ku kecap dengan rasa penasaran dan penuh harap, tetapi entah kenapa sedikit rasa kecewa merasuki pikiranku. "Tak senikmat cerita orang-orang," otakku berteriak dalam diam. Aku terus mencecap sambil berusaha menceran semua rasa yang hinggap di lidahku.
Kawan-kawanku mulai melihat ekspresi kecewaku, "Gimana rasanya, dat?" mereka bertanya. Sambil nyengir dan sedikit tertawa aku menjawab, "ga tau nih mas, lidahku belum layak merasakan cita rasa semahal ini nampaknya, kok gak kerasa ya bedanya?"
Gelak tawa membahana di ruang communal kos ku. "Wah amatir lo dat, barang sebagus ini kok ga kerasa nikmatnya" celoteh kawanku. "Yah tak apalah" otakku berkilah, mungkin masih terlalu cepat 10 tahun perjalanan per-kopi-an ku untuk mencapai paripurna.
salam, :)
0 komentar:
Post a Comment